RUMUS NAHWU JAWA’ DALAM TERJEMAHAN JENGGOTAN DI PESANTREN-PESANTREN SALAF

‘RUMUS NAHWU JAWA’ DALAM TERJEMAHAN JENGGOTAN DI PESANTREN-PESANTREN SALAF

Zahriyatun Naeli Syarof
znsyarof@gmail.com
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.05 Malang, Jawa Timur 65145

Abstrak: Nahwu merupakan salah satu ilmu yang menjadi kunci utama dalam membaca dan memahami sebuah kitab berbahasa Arab secara baik dan benar, terlebih lagi di pesantren-pesantren salaf. Kitab-kitab yang didalami di pesantren salaf  di Jawa pada umumnya adalah kitab kuning yang kemudian diterjemahkan dengan menggunakan ‘terjemahan jenggotan’. ‘Terjemahan jenggotan’ sendiri mempunyai ciri khas dengan digunakannya ‘rumus nahwu jawa’ untuk mempermudah santri dalam menerjemah, memahami, dan mengetahui kedudukan nahwu masing-masing kata mengingat pentingnya modal pemahaman nahwu atau gramatika tatabahasa suatu bahasa untuk mempelajari sebuah bahasa , dalam hal ini yang dimaksud adalah bahasa Arab. Oleh karena itu, artikel ini terfokus pada hakikat, konsep, keefektifan, kekuatan, dan kelemahan dari ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’ yang diterapkan di pesantren-pesantren salaf.

Kata Kunci: rumus, nahwu, terjemahan jenggotan, pesantren salaf

الملخص: علم النحو هو أحد مفاتيح العلم لقراءة وفهم الكتب العربية جيدا وصحيحا، لا سيما في المعاهد السلفية. الكتب التي تدرس في المعاهد السلفية خصوصا بجزيرة جاوى هي الكتب التراثية وتستخدم فيها طريقة "الترجمة اللحيوية" لمعرفة معانيها. لدى "الترجمة اللحيوية" خصائص، منها تستخدم "الرموز النحوية الجاوية" لتسهيل الطلبة في الترجمة وكذلك في فهمها. بجانب ذلك، يستطيع الطلبة أن يعرفوا مواقع نحوية لكل كلمة في الكتب التراثية باستخدام "الرموز النحوية الجاوية"، بالنظر إلى أهمّية فهم علم النحو أو قواعد اللغة لتعليم لغة ما، أي اللغة العربية. فلذلك، تراكز هذه المقالة على الحقائق والمفاهيم والفعاليات والمزايا والنقائص من "الرموز النحوية الجاوية" في "الترجمة اللحيوية" التي تستخدم في المعاهد السلفية.

الكلمات المفتاحية: الرموز، النحو، الترجمة اللحيوية، المعهد السلفي

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam paling awal di Indonesia dan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia (Subhan, 2012: 75). Dhofier dalam Subhan (2012: 76) menyebutkan, pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat unsur ‘kiai’ (pemilik sekaligus guru), ‘santri’ (murid), ‘masjid’ atau ‘mushalla’ (tempat belajar), ‘asrama’ (penginapan santri), dan kitab-kitab klasik Islam (bahan pengajaran).
Sistem pembelajaran di pesantren adalah bersifat berjenjang, harus dipelajari terlebih dahulu ‘ilmu-ilmu alat’ yakni nahwu dan shorof sebelum meningkat pada ilmu yang lain (Subhan, 2012: 85). Sistem pembelajaran tersebut terlebih lagi berlaku di lingkungan pesantren salaf atau tradisional. Terdapat dua metode pembelajaran tradisional di pesantren. Pertama, metode bandongan yakni santri belajar bersama-sama kiai dalam sebuah pengajian kitab, dalam hal ini yang dibahas adalah kitab berbahasa Arab. Kedua, metode sorogan yakni santri membaca kitab berbahasa Arab tertentu di hadapan kiai, menurut Dhofier dalam Subhan (2012: 86). Kedua metode tersebut berkaitan erat dengan salah satu metode pengajaran bahasa yaitu  metode ‘gramatika-terjemah’ karena tujuan pembelajaran bahasa Arab di pesantren-pesantren salaf adalah agar para santri dapat membaca kitab-kitab kuning dengan baik dan sesuai kaidah bahasa, sekaligus memahami makna dari bacaan tersebut. Menurut Bahri (2014), metode ‘gramatika-terjemah’ digalakkan oleh alumni Timur Tengah melalui pondok pesantren yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.
Pesantren-pesantren salaf di pulau Jawa, pada umumnya menggunakan ‘terjemahan jenggotan’ dalam menerjemah sebuah kitab berbahasa Arab. Dalam hal ini, dibutuhkan penguasaan yang kuat terhadap ilmu nahwu seperti yang sudah penulis singgung di atas. Adapun pengertian nahwu adalah ilmu untuk mengetahui perubahan tanda akhir setiap kata disebabkan adanya ragam pengaruh ‘amil (active participle) (Afandi, 2008: 131). Di samping itu, kemampuan berbahasa Jawa untuk dapat membaca sekaligus menerjamah dengan menggunakan metode ‘terjemahan jenggotan’ diperlukan. Namun, para ulama’ salaf terdahulu telah menyusun ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’ untuk memudahkan para santri dalam menuliskan kedudukan secara gramatikal atau nahwiyah dengan singkat dan mudah diingat.
Penggunaan ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’ memerlukan adanya pengenalan dan pelatihan terlebih dahulu sebelum dapat diterapkan dalam tathbiq atau praktek nyata. Hal tersebut dikarenakan dibutuhkan pemahaman dan keterampilan khusus dalam menerapkannya. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan hakikat, konsep, keefektifan, kelebihan dan kekurangan dari ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’ di pesantren salaf.
HAKIKAT TERJEMAHAN JENGGOTAN
Irhamni (2011: 8) menyimpulkan bahwa terjemah yang ada dalam bahasa Arab diambil dari bahasa Armenia mutarjiman sedangkan bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Arab tarjamah. Adapun definisi dari terjemah menurut Newmark dalam Irhamni (2011: 9) adalah upaya mengganti pesan atau pernyataan tertulis dalam satu bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain.
Penerjemahan diperlukan jika dirasa terdapat keterasingan bahasa asal atau bahasa ibu seseorang dengan budaya teks bahasa sumber atau bahasa target yang belum dipahami dalam kegiatan pemerolehan informasi. Penerjemahan merupakan salah satu strategi kebudayaan global yang berupaya mencari pemahaman antar bangsa dalam berbagai pelik kebudayaannya terutama yang bersifat non-material (Irhamni, 2011: 2).
Kemampuan yang diwajibkan adanya agar dapat melakukan penerjemahan adalah penguasaan tatabahasa, pernyataan tersebut sesuai dengan kesimpulan Effendy (2012: 42) bahwa pada dasarnya bahasa merupakan sistem tatabahasa. Selain itu, bahasa ibu atau bahasa asal merupakan sistem yang menjadi referensi untuk memperoleh kemahiran berbahasa target (Effendy, 2012: 42).
Di pesantren-pesantren salaf yang berada di pulau Jawa khususnya, dikenal adanya ‘terjemahan jenggotan’ dalam proses pembelajarannya. ‘Terjemah jenggotan’ memiliki kesamaan dengan penerjemahan harfiah. Penerjemahan harfiah yakni terjemahan yang lebih maju daripada terjemahan kata-per-kata, struktur gramatika bahasa sumber dicarikan padanan yang terdekat dalam bahsa sasaran, tetapi penerjemahan dilakukan terpisah dari konteks (Irhamni, 2011: 44). Akan tetapi, ‘terjemahan jenggotan’ lebih dari penerjemahan harfiah karena memiliki kepadatan makna yang lebih.
‘Terjemahan jenggotan’ dipraktekkan dalam dua metode pembelajaran tradisional secara umum, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Adapun yang lebih condong akan kebutuhan terhadap ‘terjemahan jenggotan’ adalah metode bandongan yang dilakukan dengan cara para santri mendengarkan kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa Arab (Subhan, 2012: 86). Proses pembelajaran dengan ‘terjemahan jenggotan’ sampai saat ini masih dilakukan di pesantren-pesantren salaf agar terjaganya sambungan isnad yang jelas dalam transfer ilmu antara kiai atau guru dengan santri (Arif, 2013: 312).
Makna kata terjemah sudah dipaparkan di atas, adapun kata jenggotan berasal dari akar kata jenggot dan merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia ‘jambang’. Disebut demikian karena model penerjemahannya ditulis menggantung di bawah teks asli, teks yang dimaksud adalah teks berbahasa Arab atau biasa disebut dengan kitab kuning baik yang sudah ber-syakl atau tidak.
‘Terjemahan jenggotan’ digunakan untuk menerjemah kitab-kitab klasik berbahasa Arab di pesantren-pesantren salaf. Penerjemahan ini dilakukan dengan cara menuliskan terjemah di bawah tiap kata, ditulis menggantung di bawahnya. ‘Terjemahan jenggotan’ ditulis atau tertulis dengan bahasa Jawa namun dengan huruf Arab atau biasa disebut dengan istilah ‘pegon’ (Arif, 2013: 312).
RUMUS NAHWU JAWA
Hakikat Rumus Nahwu Jawa
Arti kata rumus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ringkasan yang dilambangkan oleh huruf, angka, atau tanda. Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwasanya pengertian ‘rumus nahwu jawa’ secara keseluruhan adalah ringkasan kedudukan suatu kata dari segi nahwu atau gramatika yang dilambangkan oleh huruf Arab atau hijaiyyah. Kata ‘jawa’ dalam istilah ‘rumus nahwu jawa’ adalah untuk menunjukkan bahwasanya rumus nahwu ini pada umumnya hanya digunakan dalam metode ‘terjemahan jenggotan’ di pesantren-pesantren salaf yang berada di pulau Jawa.
Penerjemahan bahasa Arab dengan menggunakan metode ‘terjemahan jenggotan’ memiliki kelengkapan makna yang lebih dibanding penggunaan penerjemahan dengan metode selain terjemahan jenggotan. Oleh karena itu, dibutuhkan kefektifan untuk meringkas penulisan makna tiap kata dengan menggunakan ‘rumus nahwu jawa’ yang telah dikarang oleh ulama-ulama terdahulu.
Konsep Rumus Nahwu Jawa
Dalam kitab “ar-Rumuz an-Nahwiyah” karya Syekh Muhammad Ra’id Naufal, Sugiharjo-Tuban terdapat 49 rumus gramatika nahwu yang dilengkapi dengan rumus, posisi rumus, marmuz (yang dirumuskan), terjemah gramatika dalam bahasa jawa, beserta contoh penerapan masing-masing rumus dalam sebuah kalimat. Penulisan ‘rumus nahwu jawa’ ditulis dengan huruf kecil di atas atau di bawah kata yang dimaksud.
Berikut adalah contoh sekaligus rincian dari penggunaan ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’ di pesantren-pesantren salaf berdasarkan peletakan penulisan rumus yang kemudian terdapat sedikit keterangan tambahan yang dirasa perlu oleh penulis:
1. Penulisan Rumus Nahwu Jawa Bagian Atas
1) مزيد قائم (مبتدى) berarti utawi ‘أوتاوي’, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah ‘adapun’
2) الزيدان خقائمان (خبر) memiliki arti iku ‘إيكو’, jika diubah ke bahasa Indonesia adalah ‘adalah’
3) قام فازيد (فاعل عاقل) berarti sopo ‘صفا’, merupakan pelaku yang berakal
4) أكل فالغنم (فاعل غير عاقل) berarti opo ‘أفا’, merupakan pelaku yang tidak berakal
5) ولد نفاالمولود باكيا (نائب الفاعل عاقل) berarti sopo seperti halnya fa’il ‘aqil
6) إذا زلزلت نفالأرض (نائب الفاعل غير عاقل) berarti opo seperti halnya fa’il ghairu ‘aqil
7) ضرب زيد مفعمرا (مفعول به) memiliki arti ing ‘إع’, merupakan objek
8) جاء الأمير معوالجيش (مفعول معه) berarti sertane ‘سرتاني’ atau memiliki arti bersama
9) جئت إجلالا ملللسلطان (مفعول لأجله) berarti kerono arahe ‘كرانا أراهي’, bermaksud untuk menjelaskan sebab terjadinya pekerjaan
10) وكلم الله موسى مطتكليما (مفعول مطلق) berarti kelawan ‘كلاوان’, bertujuan untuk menguatkan kata kerja sebelumnya
11) لا أكلّم زيدا ظزأبدا (ظرف زمان) memiliki arti ingndalem ‘إعدالم’, menunjukkan waktu (pada)
12) جلست ظمفوق السطح (ظرف مكان) berarti ingndalem ‘إعدالم’, menunjukkan posisi atau tempat (di)
13) والذين صكفروا إلخ (صلة) memiliki arti kang ‘كع’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘yang’
14) جاء زيد نشاعر (نعت) berarti kang ‘كع’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘yang’
15) ...ما لا تعلمون بامن المصلحة (بيان) memiliki arti bayane ‘بياني’, berfungsi sebagai keterangan
16) نفعني زيد بدعلمه (بدل) memiliki arti rupane ‘روفاني’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘ialah’
17) شإن نام سلمان نام مجيد (شرطية) berarti lamun ‘لامون’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘jika’
18) جاء زيد حاوحده (حال) memiliki arti hale ‘حالي’, menunjukkan keadaan
19) إن كان زيد جكان بكر (جواب) berarti mongko ‘ماعكا’, dalam bahasa Indonesia bermakna ‘maka’
20) ذلك سبما قدمت أيديهم (سببية) berarti sebab ‘سباب’
21) وجاهدوا عفي سبيل الله (تعليل) berarti kerono ‘كرنا’
22) كتبت العلم غولو كلمة (غاية) berarti senajan ‘سناجان’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘walaupun’
23) الثوب للزيد (لملك) berarti keduwe ‘كدوى’, menunjukkan kepemilikan
24) أعطيت الطعام مالبكر (اختصاص) berarti marang ‘ماراع’, menunjukkan keperuntukkan
25) نصر زيد مظمالم يكن عمرو ناصرا (مصدرية ظرفية) berarti selagine ‘سلاكينى’, yakni ‘selama’
26) أحمر زيد تموجها (تمييز) berarti apane ‘أفانى’, menunjukkan keterangan
27) نفما بخل محمد (نفي) berarti ora ‘أورا’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘tidak’
2. Penulisan Rumus Nahwu Jawa Bagian Bawah
1) العلم أفضل معمن المال (مفضل عليه) berarti tinimbang ‘تينيمباع’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘daripada’
2) رأيت جالجنود (جمع) berarti piro-piro ‘فيرا-فيرا’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘beberapa’
3) لا نهتفعل! (نهي) berarti ojo ‘أجا’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘jangan’
4) لا ثواب خمله (خبر مطلق) memiliki arti iku maujud ‘إيكو موجود’
5) بما بين مكة والمدينة (غير عاقل) berarti barang ‘باراع’, dapat diartikan ‘sesuatu’
6) أشهد أن﮷ لا إله إلا الله (ضمير الشأن) berarti kelakuan ‘كلاكوان’
7) ظننت ىلزيد بخيل (لام الابتداء) memiliki arti yekti ‘يكتي’
8) سفلعلهم (لعل تأكيد) berarti supaya ‘سوفايا’
9) فلما سمامات جدي (شرطية) memiliki arti semangsane ‘سماعسانى’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘ketika’
10) بكيت من مصضربك زيدا (مصدر) berarti olehe ‘أوليهى’
11) ذكرص في كتاب الصلاة (مصنف) berarti pengarang ‘فعاراع’, yang dimaksud adalah ‘pengarang kitab’
12) رأيت في قولهشا (شاعر) bermakna pengarang ‘فعاراع’, yang dimaksud adalah ‘pengarang syair’
13) قولهش في شواهد (شارح) bermakna pensyarah suatu kitab
14) وضعنا على هذا البيت (ناظم) bermakna pengarang ‘فعاراع', yang dimaksud adalah ‘pengarang nadhom’
15) قال علي دكرم الله وجهه (دعاء) bermakna mugo semugo ‘موكا سموكا’
16) جاء عمر ايالفاروق (عطف بيان) bermakna tegese ‘تكيسي’, berfungsi sebegai penjelas sekaligus penguat
17) أنه! يعذب الكفار (الله)
18) وعلى أهل بيتهم وسلم (محمد)
19) صان شخص لأزواجهشخ (شخص)
20) قال محمد نووي باالمالكي (نسبة) bermakna bongso ‘بوعصا’, menunjukkan nisbah
3. Penulisan Rumus Nahwu Jawa Bagian Tengah
1) اﻬ قول أبي حنيفة (انتهى) bermakna wes rampung ‘ويس رامفوع’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘sudah selesai’

2) أللهم نسئلك إلخ (إلى أخيره) bermakna tumeko akhire ‘توميكا أخيرى’, dalam bahasa Indonesia berarti ‘sampai akhir’
KEFEKTIFAN PENGGUNAAN RUMUS NAHWU JAWA
Pada bagian ini, penulis akan membandingkan terjemahan jenggotan tanpa menggunakan ‘rumus nawhu jawa’ dan dengan ‘rumus nahwu jawa’:
Terjemahan Jenggotan Tanpa Rumus Nahwu Jawa
الحمدأوتاوي سكابهاني فوجيللهإيكو تيتيف كاكوعاني أللهرب العالمينكع ماعيراني عالم كابه
Penggalan kalimat di atas jika dalam bahasa Indonesia memiliki arti “segala puji bagi Allah tuhan seluruh alam”. Adapun jika dalam bahasa Jawa seperti yang tertera dengan tulisan pegon di atas, adalah “Utawi sekabehane puji iku tetep kagungane Allah kang mangerani alam kabeh”. Posisi الحمد (utawi sekabehane puji) pada kalimat di atas adalah sebagai mubtada dan لله (iku tetep kagungane Allah) adalah sebagai  khobar, majrur dengan ل sekaligus sebagai man’ut atau maushuf, sedangkan     رب العالمين (kang mangerani alam kabeh) adalah sebagai sifat atau na’at dari lafal Allah, termasuk juga tarkib idhofi. Jika penerjemahan dilakukan demikian, yakni tanpa menggunakan rumus nahwu jawa, maka akan menimbulkan kepadatan terjemahan dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan ingatan dan pemahaman dengan cara yang lebih mudah.
Terjemahan Jenggotan dengan Rumus Nahwu Jawa
مالحمدسكابهاني فوجي خ للله! نرب العالمينماعيراني عالم كابه
الحمد (utawi sekabehane puji) pada kalimat di atas yang berposisi sebagai mubtada, kata utawi di dalamnya tidak perlu ditulis, namun cukup dengan menuliskan lambang م kecil di atas kata yang dimaksud. م kecil di atas menunjukkan bahwasanya posisi kata tersebut adalah sebagai mubtada, karena م adalah kepanjangan dari مبتدى. لله (iku tetep kagungane Allah) adalah sebagai  khobar, majrur dengan ل sekaligus sebagai man’ut atau maushuf. Kata iku dan kagungane yang terkandung di dalamnya tidak perlu ditulis secara eksplisit, cukup dengan menuliskan lambang خ untuk iku dan ل untuk kagungane. خ  berarti khobar خبر dan ل berarti kepemilikan للملك. Adapun رب العالمين (kang mangerani alam kabeh) berkedudukan sebagai sifat atau na’at dari lafal Allah, serta termasuk juga tarkib idhofi. Kang dalam terjemahan di atas berarti yang, hal tersebut menunjukkan bahwasanya kata tersebut berkedudukan sebagai sifat dari suatu isim. Dalam hal ini, sifat dilambangkan dengan ن yang berarti na’at نعت.
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya terjemahan menggunakan ‘rumus nahwu jawa’  tidak sepanjang terjemahan yang tanpa menggunakan rumus. Hal ini membuktikan bahwa keefektifan penulisan ‘terjemahan jenggotan’ dari segi keringkasan penulisan dinilai lebih jika menggunakan ‘rumus nahwu jawa’ seperti contoh di atas. Selain itu, penggunaan ‘rumus nahwu jawa’ juga meningkatkan daya ingat seseorang dalam  mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab karena terdapat seni yang indah di dalamnya, yakni seni menghafal dan seni menerapkan yang tidak semua orang memiliki sekaligus mengetahui seni tersebut. Rumus sendiri memiliki sugesti yang kuat dalam menarik perhatian seseorang, karena cenderung dianggap dapat mempermudah menyelesaikan suatu masalah bagi siapapun yang mengetahuinya. Oleh karena itu, keefektifan ‘rumus nahwu jawa’ menurut hemat penulis adalah setara dengan rumus-rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal ilmu pasti.
KEKUATAN DAN KELEMAHAN RUMUS NAHWU JAWA
Kekuatan Rumus Nahwu Jawa
Penggunaan ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemah jenggotan’ memiliki beberapa kekuatan, dalam hal ini penulis mengambil beberapa kekuatan yang dimiliki oleh metode gramatika-terjemah (Effendy, 2012: 44) karena dianggap memiliki kesamaan di beberapa hal, yaitu santri menguasai kaidah-kaidah tatabahasa dari bahasa yang dipelajari, yang dimaksud di sini adalah bahasa Arab. Selanjutnya, santri memahami isi detail bahan bacaan yang dipelajarinya dan mampu menerjemahkan secara harfiah dan juga meningkatnya kemampuan santri dalam mengingat dan menghafal.
Selain itu, kekuatan yang lain adalah santri dapat mengikuti setiap terjemahan yang disampaikan oleh kiainya dengan cepat dan ringkas, karena pada umumnya sistem pembelajaran di pesantren-pesantren salaf adalah dilakukan secara massal (Subhan, 2012: 86). Santri juga memiliki kepekaan tersendiri terhadap kebenaran gramatika karena terbiasa dengan penggunaan ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’.
Kelemahan Rumus Nahwu Jawa
Di samping memiliki kekuatan-kekuatan, penerapan ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’ di pesantren salaf juga memiliki beberapa kelemahan. Hal pertama adalah dibutuhkannya waktu yang relatif lama untuk melatihkan dan mengajarkan bagaimana menulis pegon yang kemudian akan diterapkan dalam ‘terjemahan jenggotan’ sekaligus ‘rumus nahwu jawa’. Selanjutnya, santri juga membutuhkan waktu lebih panjang untuk dapat menentukan beberapa kedudukan kata yang masih asing bagi mereka, hal tersebut dikarenakan penerjemahan dengan ‘terjemahan jenggotan’ cenderung ke menghafalkan, seperti yang dikemukakan oleh Subhan (2012, 87) bahwasanya kemampuan menghafal adalah sama dengan memahami.
Mereka yang menerapkan pembelajaran ‘terjemahan jenggotan’ cenderung lemah di kemahiran selain membaca meskipun pemahaman nahwu mereka mumpuni. Hal tersebut disebabkan oleh kehati-hatian mereka terhadap kebenaran tarkib nahwiyah atau tatabahasa, sehingga melakukan sedikit kesalahan terhadap tarkib nahwu akan membuat mereka ciut. Selain itu, kelemahan lain adalah yang penulis padankan dengan beberapa kelemahan metode gramatika-terjemah dalam Effendy (2012: 44) karena dipandang memiliki beberapa kesamaan, yaitu kecenderungan kemampuan “tentang bahasa” dan bukan “kemahiran berbahasa”, kemahiran membaca lebih unggul sedangkan kemahiran lain diabaikan, terjemahan terkadang tidak lazim jika diubah ke bahasa ibu, dan santri hanya menguasai kemampuan bahasa tulis klasik.
Adapun kelemahan yang paling mendasar menurut penulis adalah dibutuhkannya kemampuan dan pemahaman tentang bahasa Jawa. Kecil kemungkinan penggunaan ‘rumus nahwu jawa’ ini bagi yang tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa. Hal ini disebabkan oleh ‘terjemahan jenggotan’ memang menggunakan bahasa Jawa kuno, sebelum seseorang mampu menerjemah dengan menggunakan ‘terjemahan jenggotan’, diharuskan adanya kemampuan membaca ‘terjemahan jenggotan’ terlebih dahulu yang ditulis dengan huruf pegon. Di samping itu, penguasaan ilmu nahwu juga dibutuhkan, baik dari segi teori maupun praktek.
PENUTUP
Kesimpulan
Salah satu syarat pertama yang harus dikuasai seorang santri di pondok-pondok pesantren sebelum melangkah ke ilmu-ilmu yang lain. Penguasaan nahwu dibutuhkan berdasarkan tujuan utama dalam pembelajaran di pesantren salaf, yakni kemampuan membaca kitab-kitab klasik atau biasa disebut dengan kitab kuning sebagai rujukan materi-materi di pesantren salaf. Pesantren salaf pada umumnya membaca sekaligus menerjemah kitab dengan ‘terjemahan jenggotan’.
‘Terjemahan jenggotan’ memiliki keterikatan yang kuat dengan ilmu nahwu sekaligus memiliki kepadatan makna yang lebih dibanding tejemahan lain. Oleh karena itu, para ulama salaf menciptakan ‘rumus nahwu jawa’ untuk memudahkan ingatan santri terhadap nahwu sekaligus meringkas terjemahan jenggotan yang syarat akan makna. Rumus nahwu jawa memiliki beberapa kekuatan dan kelebihan, kekuatan yang paling menonjol adalah para santri memiliki penguasaan terhadap kaidah tatabahasa yang kuat sedangkan kelemahan yang paling menonjol adalah rumus nahwu jawa hanya terbatas dalam bahasa Jawa, sehingga kemungkinan kecil dapat digunakan oleh seseorang yang tidak mengerti bahasa Jawa.
Saran
Setelah melihat keefektifan dari ‘rumus nahwu jawa’ dalam ‘terjemahan jenggotan’, baik dari segi nahwu maupun keringkasan akan padatnya terjemahan yang sebenarnya, diharapkan ‘rumus nahwu jawa’ dapat dikembangkan lagi agar dapat digunakan dengan menggunakan bahasa selain bahasa Jawa. Hal ini bertujuan agar terdapat keanekaragaman model penerjemahan tanpa melupakan kaidah tatabahasa sumber. Selain itu, menurut penulis, belum ditemukannya artikel-artikel yang menelisik tentang ‘rumus nahwu jawa’.
DAFTAR RUJUKAN
Afandi, Zamzam. 2008. Bias Teologis Dalam Linguistik Arab (Telaah atas Prinsip ’Āmil dan Ta’līl dalam Nahwu). Adabiyyat, (Online), 7 (1): 131, (ejournal.uin-suka.ac.id), diakses 14 November 2017.
Arif, Mohammad. 2013. Perkembangan Pesantren di Era Teknologi. Jurnal Pendidikan Islam, (Online), 28 (2): 312, (journal.uinsgd.ac.id), diakses 14 November 2017.
Arief, Subhan. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20 (Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas). Jakarta: Kencana.
Bahri, Ratni. 2014. Pembelajaran Bahasa Arab sebagai Bahasa Asing (Sebuah Tinjauan Historis). TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, (Online), 2 (1), (academia.edu), diakses 14 November 2017.
Effendy, A.F. 2012. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat Malang.
Irhamni. 2011. Strategi Penerjemahan: Kreatif Menerjemahkan Bahasa Arab-Indonesia). Malang: Pustaka Kaiswaran.
Naufal, M.R. Tanpa Tahun. الرموز النحوية (التي استعملها أهل اللغة الجاوية). Tuban: Hidayatus Salam.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Teks Moderator Bahasa Arab (نص رياسة الجلسة)

Surat Izin dalam Bahasa Arab